Studi Kitab Tafsir Ath-Thabari

A.     Biografi  Ibnu Jarir Al-Thabari
Beliau adalah  Imam dan Ahli Tafsir, Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja’far[1]. Beliau dilahirkan di kota Amil (kota terbesar di Tabarstan) pada tahun 225 H. semenjak dini beliau terarah untuk menuntut ilmu dan mempelajari ilmu-ilmu agama. Beliau sudah  hafal Al-Qur’an semenjak berumur tujuh tahun. Beliau sudah menulis hadits ketika berumur sembilan tahun.[2]
Ayahnya tergolong orang yang berada dan dikenal sebagai pencinta ilmu dan ulama, ia pun senantiasa memotivasi dan mensupport puteranya untuk menuntut ilmu. Tanda-tanda kebaikan yang pernah dilihat oleh ayahnya dalam mimpinya telah menambahnya semakin semangat untuk menuntut ilmu. Thabari mengatakan, “Ayahku pernah bermimpi melihatku berada di hadapan Rasulullah SAW, dan ditanganku terdapat sebuah kantung  yang penuh berisi batu dan aku melemparkannya di hadapan beliau kemudian ahli tabir pun mengatakan kepadanya bahwa kelak ketika dewasa, ia akan menjadi seorang alim yang mengabdi kepada agamanya. Setelah mendengar penjelasan  mimpi tersebut, ayahkupun bertambah semangat dan memberikan dorongan penuh untuk menuntut ilmu padahal waktu itu aku sangat belia.[3]
B.      Perjalanan Menuntut Ilmu
Pendidikan Ath-Thabari dimulai dari kota kelahirannya sendiri. Lalu pada usia 12 tahun ia merantau ke kota Ray, sebelah utara Persia. Disini, ia belajar hadits kepada Muhammad bin Hamid Ar-Razi, seorang Imam Besar hadits. ia juga berguru kepada Ahmad bin Hammad Ad-Daulaby, seorang ulama yang terkenal sebagai ahli riwayah. Dari kota Ray, Ath-Thabari merantau ke Irak. Awalnya ia hendak menuju Baghdad untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Namun, ketika mendengar kabar bahwa ulama yang dituju wafat, ia beralih menuju Bashrah. Disini ia berguru kepada seorang penghafal hadits jenius, Abu Bakar Muhammad bin Basyar yang terkenal dengan nama Bundar.[4]
Setelah itu, Ath-Thabari mengayunkan langkah ke Kufah untuk belajar ilmu hadits kepada Ismail bin Musa al-Fajari, Hannad As-Sirri, Ad-Darimi, al-Kufi, dan Abi kuraib Muhammad bin Al-A’la al-Hamzany. Ilmu qiroat dipelajari dari Sulaiman bin Khallad as-Samiry. Kepada Ismail bin Musa ia belajar fiqih. Khusus madzhab Syafi’i, ia berguru kepada Muhammad Az-Za’farani. Di Baghdad ia sempat menjadi guru privat dari seorang putra khalifah al-Mutawakkil yang bernama Ubaidillah bin Yahya bin Khakan, antara tahun 244 H/859 M sampai dengan tahun 248 H/862 M.[5]
Setelah itu ia pergi ke Mesir. Dalam perjalanannya ke Mesir, ia menulis dari para syaikh di Syam dan sekitarnya hingga tiba di Fusthath pada tahun 253 H, dimana terdapat sejumlah syekh dan para ulama dari madzhab Maliki, Syafi’i, Wahhab dan yang lainnya, lalu ia pun berguru kepada mereka. Dan tampaklah kehebatannya dalam berbagai khazanah keilmuan, seperti ilmu al-Qur’an, fiqih, hadits, bahasa, nahwu dan syair.[6]  
Perjalanan beliau kembali ke Tabrasan kemudian beliau mengajar di Baghdad sampai meninggal dunia pada akhir Syawal dua hari sebelum bulan Zulqa’dah tahun 310 H.[7]
 
C.      Tujuan Penafsiran dan Motivasi di Balik Penamaan Tafsir
Beberapa keterangan menyebutkan latar belakang penulisan Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an adalah karena Ath-Thabari sangat prihatin menyaksikan kualitas pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an. Mereka sekadar bisa membaca Al-Qur’an tanpa sanggup menangkap makna hakikinya. Karena itulah, Ath-Thabari berinisiatif menunjukkan berbagai kelebihan Al-Qur’an. Ia mengungkap beragam makna Al-Qur’an dan kedahsyatan susunan bahasanya seperti nahwu, balaghah, dan lain sebagainya. Bahkan jika ditilik dari judulnya, kitab ini merupakan kumpulan keterangan (Jami’ al-Bayan) yang cukup luas meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti  qiraat, fiqih, dan akidah.[8]  
D.     Pendapat Ath-Thabari tentang fiqih Ahmad Ibn Hanbal
Ketika Thabari datang ke Baghdad setelah berkelana ke sejumlah negeri Islam ia didatangi oleh para pengikut Hanbali di masjid pada hari jumat dan ditanya mengenai Ahmad bin Hanbal, maka ia menjawab, “Adapun Ahmad bin Hanbal, perbedaan pendapatnya tidak diakui.Merekapun berkata kepadanya, “Akan tetapi para ulama’ telah menyebutkannya dalam masalah perbedaan pendapat.” Maka ia menjawab “Aku tidak pernah menemukan riwayatnya darinya, dan tidak mendapati para sahabatnya menjadi bahan rujukan.”[9]
Dalam bidang fiqih, himpunan pendapat Ath-Thabari dijadikan sebagai rujukan oleh para pengikutnya. Di kemudian hari, himpunan tersebut berkembang menjadi madzhab tersendiri, yakni Madzhab Jaririyah.[10]

E.      Pendapat Thabari dalam masalah  akidah
      Orang-orang awam dari pengikut Madzhab Hanbali bertanya pada Thabari mengenai keabshahan hadits “duduk di atas Arsy”, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh mujtahid ketika menafsirkan firman Allah SWT:   
79.  Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-Mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.
Mujahid mengatakan bahwa maksudnya adalah mendudukkan Rasulullah SAW bersama-Nya di Arsy dan atas pertanyaan mereka, Thabari menjawab, “Adapun hadits mengenai duduk di Atas Arsy adalah mustahil.” Kemudian ia melantunkan  sebuah syair:
Maha Suci Dzat yang tidak memiliki kawan, dan tidak pula memiliki teman duduk.
     Apa yang dikatakan oleh ini sesuai dengan pendapat pertama yang disebutkan oleh Thabari sendiri ketika menafsirkan kalimat “maqaman mahmudan” yaitu syafaat paling besar yang dikhususkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW menurut Thabari, pendapat ini adalah pendapat yang paling benar dalam menafsirkan ayat tersebut, sesuai dengan riwayat yang telah kami sebutkan dari Rasulullah SAW, para sahabat dan Tabi’in.[11]
            Ath-Thabari mendiskusikan dengan cermat dalam masalah akidah dan kalam. Disini beliau sering membantah pandangan beberapa madzhab kalam (teologi). Dan menunjukkan dukungannya terhadap Ahlussunnah wal Jamaah.[12]

F.       Karya-karya Ath-Thabari
Ath-Thabari menulis kitab cukup banyak, antara lain:
-          Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an
-          Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk
-           Al-Qira’at wa Tanzil Al-Qur’an
-          Tahzib al-Asar wa Tafdil as-Sabit
-          Ikhtilaf al-Ulama’ al-amsar fi ahkam Syara’i’I al-Islam
-          Al-Basir fi Ma’alim ad-Din[13]
Dan masih banyak karya-karya yang ditulis oleh beliau.
G.     Karakteristik Tafsir
Ath-Thabari menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, ashalah (keotentikan). Sisi riwayat ia peroleh dari studinya terhadap sejarah, sirah nabawiyah, bahasa, syair, qiraat, dan ucapan orang-orang terdahulu. Adapun sisi dirayat  ia peroleh dari perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil dari masing-masing mereka, dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuannya terhadap ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan hadits. Dan satu hal yang mempertajam sisi dirayatnya adalah karena ia pandai dalam ilmu jadal (perdebatan), yaitu ilmu yang menjadi sarana untuk mengadu dalil dan argumentasi, dimana Thabari adalah pakarnya.[14]

H.     Sumber Penafsiran
Tafsir Thabari adalah penggabungan antara dua sisi secara seimbang dan sempurna. Di dalamnya terdapat sejumlah riwayat hadits yang melebihi riwayat hadits yang ada dalam kitab-kitab tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya. Kemudian lebih dari itu, di dalamnya terdapat teori ilmiah yang dibangun atas dasar perbandingan dan penyaringan antar pendapat. Dengan cara ini Thabari telah menempuh langkah metodologis yang sangat penting, dimana tafsir bukan hanya sekedar berisi penjelasan tentang riwayat-riwayat dan atsar, melainkan telah bercampur dengan kajian analisa yang tidak keluar dari jalur kebenaran. Itu semua dilakukan dengan mengkaji ‘illah, sebab-sebab dan qarinah (sisi indikasi dalil).[15]
     
I.        Metode Penulisan Tafsir
Metode yang digunakan dalam kitab ini yaitu metode tahlili, metode  tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur’an mushaf Usmani.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, mufasir biasanya melakukan langkah sebagai berikut:
a.      Menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu surah dengan surah lain.
b.      Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).
c.       Menganalisis mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
d.      Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
e.      Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i’jaz-nya, bila dianggap perlu. Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balaghah.
f.        Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
g.      Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat bersangkutan. Sebagai sandarannya, thabari mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadits Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi’in, di samping ijtihad sendiri.[16]   

J.      Sistematika Penulisan 
     Sistematika yang digunakan oleh Thabari dalam setiap bukunya  terdapat langkah penting, diantaranya:
1.    Biasanya Thabari memulai dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan dibahas, baik itu berupa ayat dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits, kemudian menyimpulkan berbagai pendapat mengenai akidah, hukum fiqih, qira’at, suatu pendapat, atau permasalan yang diperselisihkan.
     Dalam muqaddimah kitabnya telah dijelaskan bahwa ia memohon pertolongan kepada Allah agar menunjukinya pendapat yang benar dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat, perkara halal dan haram, umum dan khusus, global dan terperinci, nasikh dan mansukh, jelas dan samar, dan yang menerima penakwilan atau penafsiran.[17]
2.    Apabila tema telah ditetapkan, ia mulai mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang berkaitan dengannya dan berusaha semaksimal mungkin agar bahan yang ia kumpulkan lengkap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang dibahasnya. Semua ini dilakukan sebelum memulai penulisan.
3.      Jika semua bahan kajian telah terkumpul, ia pun mulai meneliti dan mempelajarinya. Beliau meneliti dengan sangat sabar setiap hadits dan atsar yang menyangkut penafsiran setiap ayat Al-Qur’an.
4.      Thabari tidak cukup hanya dengan metodologi deduktif, melainkan seringkali membandingkan antara sanad dengan dalil, dan mengindikasikan kelemahan  atau pertentangan yang terjadi pada yang lebih kuat dalam pengambilan dalil dan argumentasi. Ketika ia menjelaskan mana dalil yang paling kuat dengan menggunakan ungkapan-ungkapannya yang terulang pada lembaran-lembaran bukunya, seperti: ash-shawab minal qaul (yang benar dari pendapat ini), ash-shawab minal qaulain (yang benar dari dua pendapat ini), ash-shawab minal aqwal (yang benar dari beberapa pendapat ini), fi dzalika ‘indi (dalam hal itu menurut saya), ‘indana (menurut kami), atau syai’an nahwa dzalika (serupa itu). Dalam buku tafsirnya akan ditemukan banyak contoh yang menunjukkan hal itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa itu adalah ciri utamanya.[18]







[1]  Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, terjemahan dari Ahsan Askan. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2007) hlm. 7
[2]  Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006) hlm. 68
[3] Abu Ja’far Muhammad... hlm. 8-9
[4] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008) hlm.  65
[5] Saiful Amin Ghofur,...  hlm. 65-66
[6] Abu Ja’far Muhammad...  hlm. 11
[7]  Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006) hlm 69
[8] Saiful Amin Ghofur,...  hlm. 69
[9] Abu Ja’far Muhammad...  hlm. 21
[10] Saiful Amin Ghofur...  hlm. 64
[11] Abu Ja’far Muhammad...  hlm. 24
[12] Manna’ Khalil Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006). hlm. 454
[13] Saiful Amin Ghofur...  hlm 67
[14] Abu Ja’far Muhammad...  hlm. 33-34
[15] Abu Ja’far Muhammad...  hlm.  42-43
[16] M. Quraish Shihab, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999) hlm. 172-173
[17] Abu Ja’far Muhammad...   hlm.  41
[18] Abu Ja’far Muhammad...   hlm. 35-37

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaththan, Manna’ Khalil. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Terjemahan dari Aunur         Rafiq El-Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari. Terjemahan dari      Ahsan Askan. Jakarta: Pustaka Azzam. 2007
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. 2008
Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006
Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulum al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1999

Komentar

Postingan Populer